Kemunculan ideologi Baharu
-Pimpinan Benito Mussolini dan Parti Fasis yang menguasai Itali pada 1922
-Fasisme: memberikan keutamaan kepada kepentingan negara melebihi kepentingan individu dan percayakan nasionalisme melampau termasuk berperang bagi meningkatkan imeg negara.
-Bagi memulihkan imej Itali meluaskan jajahan dengan kuasa Habsyah (Etiopia) dan Albania
-Pimpinan Adolf Hitler dan Parti Nazi yang menguasai Jerman 1933
-Nazisme: mengagungkan bangsa Jerman
-Hitler berusaha memulihkan nasionalisme Jerman dengan mengetepikan Perjanjian Versailles, membina angkatan tentera semula dan meduduki Rhineland semula(wilayah yang hilang semasa Perjanjian Versailles)
Ketidakpuasan Hati terhadap Perjanjian Versailles (Jerman dan Itali)
-menjejaskan kedaulatan negaranya
-kehilangan tanah jajahan
-perlu membayar pampasan perang tinggi menyebabkan kemelesetan ekonomi dan inflasi
Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa
Liga Bangsa-Bangsa sebagai badan keamanan dunia dan wujudkan kerjasama antarabangsa gagal untuk menguatkuasakan perjanjian pelucutan senjata dan menangani krisis pencerobohan yang berlaku selepas Perang Dunia I.
Ini menyebabkan dunia terdedah kepada konflik berterusan dan meletusnya Perang Dunia II.
Cabaran Liga Bangsa-Bangsa selepas Perang Dunia I
Krisis Manchuria (1931-1933)
-Jepun menakluki Manchuria, iaitu wilayah di bawah penguasaan China
Perjanjian Pelucutan Senjata (1932-1934)
-Jerman keluar daripada Liga Bangsa-Bangsa dan memperbesar angkatan tenteranya secara terbuka
Krisis Habsyah (1935-1936)
-Itali menyerang Habsyah di Afrika
if (CMS_Setting('theme_config')['welcome_running']){ return `` + CMS_Setting('theme_config')['welcome_text'] + ``; }else{ return CMS_Setting('theme_config')['welcome_text']; }
Perang Aceh adalah salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Perang Aceh sendiri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1873-1912.
Sampai saat ini, sejarah perang Aceh masih menarik untuk diceritakan karena dalam catatan sejarah, perang ini menjadi salah satu perang terlama yang pernah terjadi di Aceh. Untuk lebih memahami sejarah perang yang terjadi di Aceh, simak penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kronologi Perang Dunia I: Siapa yang Menang?
Dikutip dari The Major International Treaties of the Twentieth Century: A History and Guide with Texts (2013) suntingan John Grenville dan Bernard Wasserstein, Triple Alliance terdiri dari Austria-Hongaria, Jerman, dan Italia.
Sedangkan Triple Entente terdiri dari Rusia, Republik Ketiga Prancis, serta Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia, yang mendukung Serbia. Tahun 1915, Italia membelot dari Triple Alliance dan menyeberang ke kubu Triple Entente.
Kekuatan Triple Entente kembali bertambah pada 1917 setelah Amerika Serikat turut bergabung lantaran ingin memerangi Jerman. Amerika Serikat menuding Jerman terlibat dalam peristiwa tenggelamnya Kapal Lusitania pada 1915. Kapal tersebut membawa 128 warga negara Amerika Serikat.
Pada perkembangannya, perang semakin meluas, termasuk dengan bergabungnya Turki Usmani dan Bulgaria dengan Triple Alliance bersama Austria-Hongaria dan Jerman.
Ternyata, Triple Alliance kewalahan. Sejak tanggal 8 Agustus 1918, Triple Entente melancarkan Serangan Seratus Hari. Austria-Hongaria dan Jerman akhirnya menyerah pada 11 November 1918 akibat serangan itu, disusul kemudian oleh Turki dan Bulgaria.
Dengan demikian, pemenang Perang Dunia I adalah Triple Entente yang terdiri dari Rusia, Prancis, Inggris, Irlandia, Serbia, Italia, serta Amerika Serikat.
Sejarah dan Latar Belakang Perang Dunia I
Latar belakang sejarah terjadinya Perang Dunia I dipicu oleh peristiwa terbunuhnya pewaris takhta Kerajaan Austria-Hongaria, yaitu Pangeran Franz Ferdinand. Pangeran Ferdinand dibunuh di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, pada 28 Juni 1914.
Pembunuh sang pangeran adalah Gavrilo Princip yang merupakan seorang nasionalis Serbia. Atas insiden itu, pihak Austria-Hongaria menuduh Serbia sebagai dalang dari pembunuhan tersebut dan memberikan ultimatum keras serta menyatakan perang.
David Evans dalam The First World War (2004) menyebutkan, Austria-Hongaria menggerakkan invasi ke Serbia pada 28 Juli 1914. Selanjutnya, Austria-Hongaria bersama Jerman juga menyerang ke Belgia yang saat itu terikat perjanjian dengan Prancis.
Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia ikut bergabung dengan karena kala itu sedang terlibat persaingan dengan Jerman di bidang industri dan militer.
Konflik yang mulanya terjadi antara Austria-Hongaria melawan Serbia meluas menjadi perang besar, karena sekutu dari kedua belah pihak turut memanaskan situasi.
Terbentuklah kubu-kubu yang menyebabkan peperangan semakin besar dan meluas bahkan hingga melibatkan negara dari luar Eropa, yakni Triple Alliance (Aliansi Tiga) melawan Triple Entente (Entente Tiga).
Jika disimpulkan, latar belakang atau penyebab timbulnya Perang Dunia I adalah sebagai berikut:
Penyebab Terjadinya Perang Aceh
Sejak abad ke-17, Belanda sudah berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh. Hal itu karena Aceh merupakan pusat perdagangan yang ramai, maka Aceh adalah tempat yang strategis, seperti dikutip dari Explore Sejarah Indonesia Jilid 2 untuk SMA/ MA Kelas XI oleh Dr. Abdurakhman, S.S. 2017.
Selain itu, Aceh juga memiliki banyak kekayaan alam, seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan yang melimpah sehingga Belanda sangat ingin menguasainya untuk mewujudkan Pax Neerlandica.
Namun hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan Belanda. Sebab rakyat Aceh menunjukkan segala upaya untuk mempertahankan kedaulatannya. Pada masa itu, Belanda juga memiliki kendala yaitu Traktat London yang disetujui pada 17 Maret 1824.
Traktat London adalah kesepakatan antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan Nusantara dan Semenanjung Malaya. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh, karena wilayah tersebut telah masuk ke bagian jajahan Inggris.
Namun meskipun begitu, Traktat London rupanya tidak menghentikan Belanda, mereka mulai menguasai daerah Sibolga, pedalaman Tapanuli, Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang, dan Asahan.
Di tahun 1858, Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak dan sampai pernah mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra Timur.
Tidak berhenti sampai di situ, Belanda akhirnya mengumumkan peperangan terhadap rakyat Aceh. Dinilai mudah dikalahkan, ternyata Aceh memiliki semangat tinggi untuk mendapatkan Kembali tanah Aceh.
Dengan adanya barisan pemuda dan para pemimpin Aceh, perang ini menjadi salah satu perang terberat bagi Belanda dan dalam sejarah perang Aceh.
Perang dimulai pada 5 April 1857, di mana pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler mulai menyerang Aceh. Dengan kekuatan yang ada, para pejuang Aceh pun tidak tinggal diam dan mampu memberikan perlawanan sengit.
Belanda sempat melakukan penyerangan ke Masjid raya Baiturrahman, dan sempat menginstruksikan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke arah Masjid. Akibatnya, masjid mulai terbakar dan pasukan Aceh mulai berbondong-bondong meninggalkan masjid.
Belanda akhirnya berhasil menguasai masjid pada 14 April 1873. Namun Mayor Jenderal Kohler diketahui tewas dalam sengitnya pertempuran di masjid ini.
Setelah berhasil menguasai masjid, 9 Desember 1873 pasukan Belanda pun Kembali mendarat di Pantai Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J.van Swieten, seorang pemimpin baru yang akan mengepalai pergerakan Belanda.
Melihat kedatangan Belanda, pasukan Aceh pun tidak tinggal diam hingga akhirnya meluncurkan berbagai serangan. Namun sayangnya pasukan Aceh harus mengalah dan mundur karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap.
Pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda Kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang lain telah terlebih dahulu meninggalkan istana hingga pada akhirnya 4 hari setelahnya Sultan wafat akibat wabah kolera.
Setelah berhasil menguasai Masjid dan istana, Belanda akhirnya mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh. Namun karena beliau masih di bawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau pemangku sultan sampai tahun 1884.
Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan perang sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah digantikan dengan Jenderal Pel. Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa dengan kekuatan sekitar 2.759 pasukan.
Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak gentar dan tetap semangat. Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai ke Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru yang disebut Konsentrasi Stelsel.
Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh akhirnya membuat Belanda mulai geram dan menugaskan Dr. Snouck Hurgronje untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh. Akhirnya, ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu:
Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van Heutsz diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan beberapa serangan untuk menggempur Aceh.
Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan besar-besaran ke Meulaboh. Namun ternyata rencana ini berhasil diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada 1899.
Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur, sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan.
Di bawah kepemimpinan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem perang gerilya terus dilakukan, sampai akhirnya Muhammad Daud menyerah. Sementara Panglima Polem ditangkap bersama istri dan keluarganya.
Perang mulai mereka setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu diasingkan oleh Belanda sampai akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe.
Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan perang resmi berakhir secara massal pada tahun tersebut.
Demikian sejarah perang Aceh. Semoga semangat juang para pendahulu selalu dapat menginspirasi generasi muda untuk terus mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.
Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.
Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.
Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.
Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.
Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.
Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.
Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.
Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.
Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.
Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.
Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.
Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.
Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.
Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.
Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.
Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.
Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.
Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.
Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.
Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.
Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.
Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.
Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.
Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.
Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.
Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.
Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.
Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Nationalgeographic.co.id—Kegagalan pasukan salib dalam sejarah Perang Salib kedua telah menjadi pukulan telak bagi negara-negara Kristen Eropa. Dan sekali lagi, Perang Salib telah merusak hubungan timur-barat, Kekaisaran Bizantium dan negara-negara Kristen Eropa.
Tidak hanya itu, jenderal Shirkuh dari Dinasti Zenkiyah, di bawah kepemimpinan Nur ad-Din menaklukan Mesir pada tahun tahun 1168, aliansi Damaskus dan Aleppo semakin kuat. Keberhasilan peradaban Islam ini dianggap menjadi ancaman yang lebih besar terhadap negara-negara Kristen Eropa.
Setelah kematian Nur Ad-Din, salah satu panglima militernya bernama Salahuddin al-Ayyubi mengambil kesempatan untuk mengonsolidasikan kekuatannya sendiri. Salahuddin al-Ayyubi yang lebih dikenal dengan Saladin kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Saladin (memerintah 1169-1193 M) dengan cepat menyatukan Peradaban Islam untuk melawan invasi Kristen Eropa. Dan, pada 4 Juli 1187 dalam Pertempuran Hittin, Saladin yang memimpin Pasukan Muslim berhasil merebut kembali Yerusalem dari Pasukan Salib.
Yerusalem akhirnya kembali ke dalam Peradaban Islam yang dikonsolidasi oleh Saladin. Inilah yang kemudian memicu diserukannya kembali Sejarah Perang Salib Ketiga (1189-1192).
Dalam sejarah Perang Salib Ketiga, pasukan salib dipimpin oleh tiga raja Eropa. oleh karena itu, sejarah Perang Salib ketiga juga dikenal dengan nama lainnya yaitu 'Perang Salib Raja'.
Ketiga pemimpin tersebut adalah: Frederick I Barbarossa, Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci (memerintah 1152-1190 M), Philip II dari Prancis (memerintah 1180-1223 M) dan Richard I 'si Hati Singa' dari Inggris (memerintah 1189 -1199 M).
Terlepas dari silsilah ini, kampanye itu gagal, Kota Suci bahkan tidak pernah diserang. Sepanjang jalan, ada beberapa kemenangan, terutama direbutnya Acre dan pertempuran Arsuf.
Tapi, sejarah Perang Salib tidak seperti yang dikampanyekan. Pasukan Salib runtuh dengan sendirinya.
Pada saat mereka mencapai tujuan mereka, para pemimpin Barat mendapati diri mereka tidak memiliki cukup orang atau sumber daya untuk melawan pasukan Saladin yang masih utuh.
Para raja akhirnya memilih jalan negosiasi dan meminta kompromi kepada Saladin. Negara-negara Kristen Eropa hanya meminta akses peziarah dan dizinkan masuk ke Yerusalem diizinkan. Kemudian umat Kristen dapat berziarah dengan perlindungan di Timur Tengah.
Peradaban Islam tidak keberatan dengan negosiasi dari negara-negara Kristen Eropa tersebut. Namun upaya lain untuk merebut Kota Suci Yerusalem masih terus dilakukan, dan akan menjadi tujuan awal Perang Salib Keempat pada tahun 1202-1204 M.
Peta Timur Tengah yang menunjukkan negara-negara Timur Latin yang dikuasai Pasukan Salib pada saat Perang Salib Ketiga (1189-1192 M).
Perang Salib Kedua (1147-1149 M) secara efektif telah berakhir dengan kegagalan total merebut Damaskus di Suriah pada tahun 1148 M.
Berbagai negara dari Peradaban Islam di Timur Tengah kemudian menyadari, bahwa para ksatria barat yang pernah ditakuti dapat dikalahkan dan keberadaan genting dari wilayah yang dikuasai Pasukan Salib, Timur Latin, kemudian menjadi perhatian Peradaban Islam.
Yang dibutuhkan sekarang hanyalah penyatuan pasukan Muslim dan ini disediakan oleh salah satu penguasa abad pertengahan terbesar, yaitu Saladin, Sultan Mesir dari Dinasty Ayyubiyah dan Suriah (memerintah 1174-1193 M).
Saladin, pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir, menguasai Damaskus pada 1174 M dan Aleppo pada 1183 M. Saladin kemudian mengejutkan dunia dengan mengalahkan pasukan Kerajaan Yerusalem dan sekutu Latinnya di Pertempuran Hattin pada tahun 1187 M.
Dengan demikian, Saladin mampu menguasai kota-kota seperti Acre, Tiberias, Caesarea, Nazareth, Jaffa dan bahkan, tempat paling suci itu sendiri, Yerusalem.
Tidak seperti Sejarah Perang Salib Pertama yang penuh dengan pembantaian saat orang Kristen Eropa menaklukkan Yerusalem, puluhan ribu orang Yahudi dan Muslim dibantai. Saladin malah sangat toleran, lunak dan menerima kompromi.
Setelah Saladin merebut kembali Yerusalem hampir seabad sebelumnya, Saladin hanya menerima uang tebusan dari orang-orang Kristen Latin yang mampu membeli kebebasan mereka dan memperkerjakan sisanya.
Sementara itu, orang Kristen Timur atau Kristen Ortodoks diizinkan untuk tetap tinggal di Yerusalem sebagai kelompok minoritas yang dilindungi.
Dengan demikian Timur Latin semuanya telah runtuh, hanya Tirus yang tersisa di tangan Kristen Eropa, di bawah komando Conrad dari Montferrat, tetapi itu akan terbukti menjadi pijakan yang berguna untuk perlawanan yang akan datang.
Paus Gregorius VIII hanya memerintah selama beberapa bulan pada tahun 1187 M tetapi, pada bulan Oktober tahun itu, dia membuat dampak yang bertahan lama dalam sejarah Perang Salib.
Ia mengharapkan perang salib lagi untuk memenangkan kembali Yerusalem dan peninggalan suci yang hilang seperti Salib Sejati, tapi semuanya tidak berlanjut.
Padahal, tidak kurang dari janji pengulangan prestasi luar biasa dari Perang Salib Pertama. Tidak kurang juga bangsawan yang terlibat.
Tiga raja paling berkuasa di Eropa ketika itu menerima seruan Paus untuk memulai Perang Salib Ketiga atau Perang Salib Raja, yaitu Kaisar Romawi Suci, Frederick I Barbarossa, raja Jerman, Philip II dari Prancis dan Richard I dari Inggris.
Tapi, secara keseluruhan, Sejarah Perang Salib ketiga tidak lebih baik dari Perang Salib Kedua dan bahkan gagal sebelum terjadi perang terbuka.
Gel Duri Landak Berpotensi Sembuhkan Luka: Termasuk Luka akibat Tertusuk Duri?
tirto.id - Perang Dunia I (World War I) merupakan peperangan besar pertama dalam sejarah modern yang menimbulkan dampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat secara global. Lantas, bagaimana kronologi terjadinya Perang Dunia (PD) Pertama dan akhirnya siapa yang menang?
Dimulai tahun 1914, Perang Dunia I merupakan peristiwa besar yang terjadi di kawasan Eropa dan Asia Pasifik, namun berpengaruh sangat luas. Setelah Perang Dunia I berakhir, ada peperangan besar berikutnya yang menyusul terjadi, yakni Perang Dunia II sejak 1941, kemudian berlanjut dengan Perang Dingin.
Perang Dunia I dapat dikatakan sebagai tonggak perubahan sejarah dunia, karena akibat atau dampak yang ditimbulkan perang ini berpengaruh besar bagi negara-negara lain. Sebagai contoh, adanya Perang Dunia I memberikan akses bagi negara-negara untuk membuat teknologi persenjataan yang canggih.
Selain itu, bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika yang sudah sekian lama terjajah oleh negara-negara Barat, Perang Dunia I menjadi pemicu semangat mereka untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan menjadi negara yang merdeka serta berdaulat.
Akhir dan Dampak Perang Dunia I
Perang Dunia I menimbulkan dampak yang besar dan berpengaruh terhadap banyak negara. Setidaknya 4 kekaisaran runtuh usai perang ini, yaitu Jerman, Austria-Hongaria, Turki Ustmaniyah, dan Rusia.
Banyak negara yang mengalami kehancuran parah, termasuk Belgia dan Serbia, juga Prancis, Jerman, serta Rusia. Martin Kitchen dalam Europe Between the Wars (1980) mencatat, tidak kurang dari 8 juta tentara asal Eropa tewas, 7 juta orang lainnya mengalami cacat permanen, ditambah 15 juta orang yang terluka parah.
Dampak ekonomi juga amat terasa. Kelaparan terjadi di mana-mana, bahkan hingga di luar Eropa. Jutaan orang kehilangan rumah dan sebagian harus pindah ke negara lain, sampai ke Amerika Serikat bahkan Cina.
Tak hanya itu. Perang Dunia I juga menyebabkan munculnya wabah yang menyebar dan menewaskan jutaan orang serta puluhan juta lainnya terinfeksi, terutama wabah tipus, malaria, dan influenza.
Untuk pandemi flu saja, seperti yang terangkum dalam The Threat of PandemicInfluenza (2005) suntingan Stacey L. Knobler, secara keseluruhan telah menyebabkan tidak kurang dari 50 juta orang kehilangan nyawa.
Selengkapnya, berikut ini berbagai dampak yang ditimbulkan akibat Perang Dunia I:
Nationalgeographic.co.id—Ada banyak pihak yang terlibat dalam sejarah Perang Salib. Dari semua pihak yang terlibat dalam sejarah Perang Salib, Kristen barat dan Negara Latin adalah organisasi utama yang menyebabkan perang hampir dua abad itu.
Pasukan Perang Salib adalah saksi utama perseteruan umat Kristen dan Muslim dalam sejarah Perang Salib. Kedua pihak berseteru untuk menguasai wilayah di Timur Tengah dan tempat lain.
Pasukan tersebut dapat melibatkan lebih dari 100.000 orang di kedua pihak yang datang dari seluruh Eropa untuk membentuk Pasukan Kristen. Hal serupa juga datang dari seluruh Asia barat dan Afrika Utara untuk membentuk Pasukan Muslim.
Pasukan Kristen mempunyai keunggulan dalam hal kesatria yang berdisiplin dan bersenjata lengkap, sedangkan pasukan Muslim sering menggunakan kavaleri ringan dan pemanah dengan efek yang besar.
Seiring waktu, kedua belah pihak akan belajar satu sama lain, mengadopsi senjata dan taktik untuk keuntungan mereka masing-masing.
Sumber daya yang besar diinvestasikan dalam Perang Salib di kedua sisi. Sementara Pasukan Kristen berhasil di Iberia dan Baltik, Pasukan Muslim berhasil di arena yang paling penting, Tanah Suci Yerusalem.
Mungkin taktik yang unggul dan kepedulian yang lebih besar terhadap logistiklah yang memastikan Pasukan Muslim menang. Pasukan dari berbagai negara Muslim pada akhirnya berhasil mengalahkan ancaman Kristen.
Pasukan Kristen barat selama sejarah Perang Salib merupakan campuran dari kesatria lapis baja berat, kavaleri ringan, pemanah dan pemanah silang.
Kemudian pengumban, dan infanteri biasa yang dipersenjatai dengan tombak, pedang, kapak, gada, dan senjata pilihan lainnya.
Kebanyakan kesatria bersumpah setia kepada satu pemimpin tertentu. Namun dalam sejarah Perang Salib, banyak pasukan dipimpin oleh banyak bangsawan atau bahkan raja dan kaisar negara Kristen barat.
Sehingga setiap pasukan dalam sejarah Perang Salib biasanya merupakan campuran kosmopolitan yang terdiri dari berbagai kebangsaan dan bahasa.
Meskipun pemimpin keseluruhan biasanya ditunjuk sebelum gerakan. Namun kekuasaan dan kekayaan para bangsawan yang terlibat menyebabkan perselisihan mengenai strategi sering terjadi.
Dengan pengecualian pada dua perang salib pertama (1095-1102 M & 1147-1149 M), Pasukan Salib hampir seluruhnya dibentuk berdasarkan basis feodal.
Itu adalah orang-orang yang wajib militer dari tanah para baron (tuan tanah), dengan sebagian besar Pasukan bayaran, biasanya infanteri diikutsertakan.
Sementara itu, kelompok pasukan bayaran terkenal di Eropa berasal dari Brittany dan Negara-Negara miskin, sementara pemanah Italia sangat dihormati.
Ketika raja-raja terlibat, mereka dapat meminta wajib militer siapa pun yang berbadan sehat untuk memenuhi kebutuhan kerajaan, tetapi pasukan ini kurang terlatih dan tidak diperlengkapi dengan baik.
Pengangkutan pasukan ke tempat mereka dibutuhkan, sebagian besar disediakan oleh kapal-kapal negara bagian Genoa, Pisa, dan Venesia di Italia. Kadang-kadang, kota-kota ini juga menyediakan pasukan dan kapal untuk dinas aktif dalam gerakan itu sendiri.
Tentu saja, pasukan di lapangan yang berjumlah puluhan ribu prajurit memerlukan jumlah besar personel non-tempur. Seperti misalnya pengurus bagasi, buruh, tukang kayu, juru masak, dan pendeta, sementara para kesatria membawa serta pengawal dan pelayan pribadi mereka.
Peta Timur Tengah menunjukkan Negara Latin yang dikuasai Pasukan Salib pada saat Perang Salib Ketiga (1189-1192 M).
Sejarah Perang Salib pertama melahirkan negara-negara yang dibentuk Pasukan Salib, negara itulah yang disebut negara latin. Empat negara latin di Timur Tengah adalah Kerajaan Antiokhia, Kabupaten Edessa, Kabupaten Tripoli, dan Kerajaan Yerusalem.
Negara-negara latin dibentuk setelah kemenangan Pasukan Salib dalam sejarah Perang Salib pertama. Negara latin dibentuk untuk mempertahankan pengaruh mereka di wilayah timur tengah.
Keberadaan negara-negara latin inilah yang nantinya akan selalu memicu Perang Salib di periode-periode berikutnya.
Negara-negara latin dipimpin oleh (secara teori) pemimpin Pasukan Salib. Namun negara-negara bagian membentuk pasukan mereka sendiri berdasarkan penyewa feodal, orang bebas, dan pasukan bayaran.
Para penguasa sering kali memberikan tanah milik kepada para bangsawan sebagai imbalan atas kuota tetap prajurit pada masa perang.
Negara-negara Pasukan Salib atau negara latin tidak dapat mengandalkan wajib militer penduduk lokal. Hal itu karena mereka sebagian besar beragama Islam dan tidak memiliki pelatihan.
Oleh karena itu, karena jumlah penduduk di wilayah barat yang kecil, negara-negara Pasukan Salib selalu kekurangan pasukan tempur.
Seperti misalnya, mereka hanya dapat mengerahkan maksimal 1.500 kesatria. Sehingga mereka menjadi sangat bergantung pada perintah militer di wilayah tersebut.
Penggunaan pasukan bayaran jelas bergantung pada dana yang tersedia, namun setidaknya negara-negara Pasukan Salib kadang-kadang menerima pembayaran dari raja-raja Eropa.
Para penguasa ini lebih memilih metode bantuan tersebut, daripada mengirimkan pasukan sebenarnya untuk tetap mematuhi kewajiban moral mereka sebagai penguasa Kristen untuk mempertahankan Tanah Suci Yerusalem.
Masalah lainnya adalah status yang relatif setara antara para baron (tuan tanah) dan raja Kerajaan Yerusalem.
Masalah itu menyebabkan banyak pertengkaran. Sehingga satu atau lebih Negara Latin sementara waktu memilih netralitas daripada mendukung tujuan pertahanan bersama.
Varuna, Dewa Langit dan Lautan yang 'Ambigu' dalam Tradisi Hindu Kuno